Bagian 1: Mengenali "Aku" - Sebuah Perjalanan Menyapa Ego


Dalam keseharian, Ego sering kali hadir dalam bentuk-bentuk sederhana namun bermakna, seperti ketika kita memilih diam saat emosi memuncak atau saat kita memilih penuturan bahasa demi menjaga lawan bicara yang kita hargai. Keputusan-keputusan kecil yang tampak sepele itu sejatinya merupakan bisikan kesadaran terdalam kita yakni Ego.

Saya berangkat dari uraian peta psike milik Carl Gustav Jung yang mendeskripsikan "EGO". Kau tahu, katanya Ego merupakan istilah teknis dari bahasa Latin yang bermakna "Aku". Kesadaran adalah keadaan terjaga, dan dipusatnya terdapat "Aku". Sederhananya, Ego mengambil peran sebagai pusat kesadaran manusia sehingga segala tindakan personal yang merupakan kehendak, keinginan, dan perenungan merupakan reaksi nyata dari Ego. 

Ego merupakan sebentuk cermin dimana psike (alam bawah sadar) dapat melihat dan menjadi sadar akan dirinya sendiri. Pernahkah kalian merasa sedang menyelami diri sendiri? Seperti diawali dengan pertanyaan "Siapakah diriku yang sesungguhnya? dan apa yang ingin aku capai dalam kehidupan ini?" Pertanyaan-pertanyaan ini bukan sekedar renungan biasa melainkan percakapan halus antara Ego (kesadaran) dengan Psike (ketidaksadaran). Bila kita cukup peka, akan terasa seolah ada dua jiwa yang bersuara dalam satu tubuh: yang satu bertanya, dan yang lain menjawab dalam sunyi.

Pentingnya Ego terletak pada perannya sebagai jembatan antara dunia luar dengan dunia batin. Ia adalah kesadaran yang mengetahui, mengamati, dan memperhatikan keadaan apa yang terjadi di sekitar. Tanpa Ego kita akan menjadi seperti bayangan yang hidup tanpa bentuk. Ada, namun tak pernah benar-benar menyadari keberadaannya.

Meskipun dalam keseharian Ego kerap disalahartikan sebagai pusat keegoisan seperti dalam ungkapan "Wah, egonya besar sekali!" yang terdengar sebagai sesuatu yang negatif. Namun sejatinya Ego memiliki peran yang jauh lebih dalam dan penting. Ego bukanlah musuh, melainkan pelindung. Ia menjaga tubuh dan jiwa dari ancaman luar, memilih tindakan yang dianggap paling aman untuk kelangsungan hidup. Justru karena adanya Ego manusia berbeda dari makhluk lainnya dengan adanya kesadaran untuk memilih, mempertimbangkan, dan merenung.

Namun sisi Ego yang dianggap negatif kerap muncul ketika ia berbenturan dengan Ego orang lain. Ketika keinginan pribadi berlawanan dengan kehendak luar. Disitulah muncul gesekan, pertentangan, gengsi, bahkan konflik. Tapi bukan berarti Ego sepenuhnya buruk, ia hanya menunjukkan batas mana yang sedang diuji, dan seberapa jauh kita mampu berdamai dengan perbedaan yang ada. 

Oleh karena itu, Carl Gustav Jung meyakini bahwa pertumbuhan Ego tidak terjadi ditengah kenyamanan, melainkan melalui benturan seperti konflik, kegagalan, kesedihan, dan penderitaan. Jadi sejauh mana Ego seseorang mencerminkan sejauh itu pula benturan hidup yang telah ia hadapi dan lalui dalam perjalanan di dunia ini. "Lewat luka, kita belajar. Lewat gelap, kita mengenal cahaya."

Sekarang mari kita bertanya pada diri sendiri "Sudah seberapa sadar kita mengamati dunia ini? Seberapa hadir kita dalam tiap detik kehidupan yang terus bergerak?". Kemampuan untuk melewati hari demi hari dengan kesadaran penuh adalah wujud kesiapan diri dalam menatap realitas.

Terima kasih telah menyempatkan membaca sampai akhir. Pada dasarnya saya hanya ingin mengajak kita semua untuk mengenali keberadaan Ego sebagai bagian dari diri, bukan untuk dihindari, tapi untuk dipahami, dihayati, dan diterima. Di episode selanjutnya, mari kita menyelam lebih dalam, menyingkap lapisan-lapisan identitas diri yang kompleks namun memikat, karena setiap jiwa punya kisahnya sendiri.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

DONOR DARAH PRIMA (HMCH UPI BANDUNG)

WISATA LIBURAN ASIK DI KARANG RESIK